Tampilkan postingan dengan label Pakan Ternak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pakan Ternak. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Februari 2012

Pembuat Pakan Ternak Pertama di Indonesia

Yogya, KU

Pada mulanya Drh. Eko Nugroho menjadi dosen di Fakultas Peternakan (Faperta) UGM. Kala itu, tahun 1969, Faperta UGM baru saja dibuka. Dia seangkatan dengan Prof. Sunarto dan Prof. Sumitro, yang pernah menjabat Dekan Faperta UGM. Tetapi, dia kemudian behenti jadi dosen. Alasannya sederhana saja: gajinya sebagai dosen tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. �Aduh ya. Tapi malu ya. Dulu gaji dosen nggak mencukupi. Ketika PT Matutur menawari saya kerja sebagai sales representative, dengan gaji sepuluh kali lipat, dan disediakan rumah dan kendaraan, akhirnya profesi dosen saya tinggalkan,� kata Pak Nugroho.

Ketika masih bekerja di PT Matutur, Pak Nugroho sudah membuat pakan ternak. Bahkan dia sudah membuat pakan ternak itu sejak dia jadi dosen Faperta UGM. Dia juga membuat obat-obatan hewan. Untuk menjual produknya tersebut, dia mendirikan kios-kios kecil ukuran 4 x 4 di Jl. Hayam Huruk, Semarang dan di Gondomanan, Yogya. �Poultry shop di Indonesia saya pertama kali mulai buat,� aku lulusan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UGM 1968 ini.

Setelah berhasil membuat pakan ternak, Pak Nugroho beternak ayam petelur. �Kebetulan saya mendapat pemberian ayam white leghorn (ayam petelur) dari Pak Seno Sastraoamijoyo, yang baru pulang dari Australia. Ayam ini belum ada di Indonesia. Masyarakat kita hanya tahu beternak ayam kampung. Pak Seno heran, kok sarjana di Indonesia tidak bisa hidup. Saya lalu diberi 12 ekor ayam white leghorn dari Australia. Saya ternakkan ayam itu di rumah yang dipinjami teman saya. Enam bulan ayam tersebut sudah bertelur. Mulai umur 8 bulan, saya sudah jual telurnya sampai ke Lampung. Andaikan sekarang harga telur Rp 600, dulu saya bisa jual seharga Rp 2000. Dari 20 ekor ayam itu, saya bisa hidup,� kata Pak Nugroho, kelahiran Magelang, 8 Mei 1933.

Kenyataan di atas membuat Pak Nugroho mendirikan Eka Poultry. Perusahaan ini berkembang terus. Sampai saat berita ini ditulis, bisnis Pak Nugroho berkembang pesat. Dia juga sudah membuka peluang usaha bagi masyarakat untuk berbisnis. Sayang Pak Nugroho tidak mau menjelaskan jumlah omset yang dia miliki. Yang jelas, perusahaannya mampu menggaji 200 karyawan yang dia miliki. �Saya memulai usaha ini dari nol, hingga seperti saat ini. Bagi saya yang terpenting bisa membayar gaji karyawan,� tambah Pak Nugroho.

***

Pak Nugroho hanya bekerja di PT Matutur sampai tahun 1971. Setelah keluar dari PT Matutur, Pak Nugroho memilih mengembangkan Eka Poultry. Ketika bekerja di PT Matutur, dia banyak belajar bagaimana cara mencari uang. �Dari itu saya belajar, kalau cari uang caranya begini ya. Tokonya nggak usah rame tapi pesanannya dari mana-mana. Saat itu saya punya dua salesman dan satu tenaga administrasi,� kata ayah tiga orang anak ini.

Beruntung tahun 1970 an ada booming ternak ayam petelur. Pak Nugroho mendapat ide untuk mempercepat masa bertelur ayam kampung. �Ketika itu saya mengajak semua orang beternak ayam petelur. Ternyata banyak yang ikut. Mereka mengambil pakan ke perusahaan saya. Ada yang membeli satu karung satu truk pakan. Tidak heran bila dalam waktu dua tahun, saya bisa mengumpulkan uang Rp 1,5 juta. Bayangkan nilai uang itu tahun 1970-an,� tambah Pak Nugroho.

Sejak saat itu usaha Pak Nugroho sudah merambah ke berbagai bidang. Dari ternak kelinci, jangkrik, ikan hias, iguana, anjing hingga walet.. Tidak heran jika saat itu dia sudah disebut sebagai salah seorang pakar walet Indonesia.

Pak Nugroho sering diundang jadi pembicara dalam berbagai seminar tentang walet. Dia juga sering mengadakan pelatihan tentang walet. Pelatihan yang dia adakan mendapat sambutan luas masyarakat. �Saat itu tahun 1989. Orang masih tertutup dalam hal cara beternak burung walet. Saat saya memberikan pelatihan cara beternak walet, diikuti oleh banyak orang. Dari walet inilah sebenarnya secara tidak langsung telah membantu mempromosikan salak pondoh Jogja ke berbagai daerah. Dalam beternak walet kita menganjurkan kepada peserta untuk menanam pagar di sekitar sarang walet, pagar ini berupa tanaman salak pondoh karena tanaman ini berduri. Kalau ada sarang walet pasti ditanam salak pondok. Maka permintaan bibit tanaman salak pondoh saya meningkat tajam. Padahal petani di daerah Sleman yang menjual sampai-sampai tidak mampu memenuhi permintaan. Tidak heran salak pondoh menjadi terkenal. Jika dulu tanaman salak pondoh hanya untuk permintaan para peternak walet, sekarang mereka bisa jual salak pondoh sendiri sebagai oleh-oleh khas Jogja,� papar Pak Nugroho.

***

Pak Nugroho selalu mengikuti trend. Ketika orang suka kelinci atau anjing, dia pun menyesuaikan diri. Waktu orang-orang mulai suka kelinci, dia mendatangkan kelinci jenis lain dari luar negeri. Ketika orang hobi beternak anjing, dia langsung beli anjing Kintamani dari Bali. Jika ada hewan piaraan yang baru ke Indonesia, dia langsung membuat buku tentang cara beternak. Tidak heran bila buku-bukunya terbilang diburu oleh para peternak hewan piaraan.

Kendati suah menjadi pengusaha sukses, Pak Nugroho tidak lupa peran istrinya dalam memajukan usahanya. �Saat saya masih jadi dosen, istri saya sungguh luar biasa. Sambil buka toko makanan ternak, dia juga jualan sembako. Tidak lama kemudian istri saya didatangi pegawai Pemda Kota. Dia menanyakan izin usaha. Istri saya menjawab bahwa suaminya dosen, bayarannya nggak cukup. Usha ini hanya buat tambahan Kalau dimintai izin, jelas nggak ada. Malu isteri saya waktu itu, tapi itu kenangan yang indah,� tambah Pak Nugroho.

Bagi Pak Nugroho sendiri, awal merintis perusahaan memang berat. Apalagi modalnya tidak cukup. �Berat lho dulu, modal nggak punya. Kalau saya kulakan beras paling hanya bisa 20 kilo. Saya tidak mau kulakan di pasar tapi langsung ke penggilingan. Saya bawa pake scooter saya Berasnya saya boncengkan,� kenang suami Iswanti ini.

Dalam membesarkan perusahannya, Pak Nugroho bukan tak menghadapi hambatan. Hambatan utama dihadapinya adalah salah persepsi tentang perkiraan jenis hewan impor yang bisa diternak di Indonesia. �Biasanya pada perkiraan jenis hewan impor yang bisa diternak di Indonesia karena sebaliknya ternyata hewan yang kita ambil tidak bisa diternak di sini,� ujar Pak Nugroho.

Sekalipun kini sudah menjadi seorang pengusaha sukses, Pak Nugroho belum merasa bahwa dia sudah sukses. �Perasaan saya, saya tidak merasa sukses. Saya hanya menjalankan apa yang patut dijalankan. Saya sudah mendapat sekolah banyak sekali. Banyak banyak matakuliah yang saya pelajari. Dulu susahnya bukan main. Sekolahnya juga susah. Apa yang saya pelajari, saya terapkan,� papar Pak Nuroho (wawancara dan penulisan: Gusti Grehenson; editing: Abrar).

sumber :
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=headline&artikel=218 

Senin, 23 Januari 2012

PAKAN TERNAK : SISA-SISA JAGUNG TEPUNG DI LERENG GUNUNG



Semenjak tumbuhnya agroindustri peternakan unggas dan sapi perah modern di Indonesia, tumbuh pulalah agribisnis jagung hibrida/open polyneted (Zea mays indurata). Biji jagung hibrida ini berwarna oranye. Pemanfaatannya 100% untuk bahan baku pakan ternak. Semenjak tumbuhnya agribisnis jagung hibrida, maka terdesak pulalah penanaman jagung tepung yang berwarna putih. Terdesaknya jagung tepung oleh jagung hibrida, selain disebabkan oleh pertumbuhan agroindustri peternakan; juga diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi nasional sejak awal tahun 1970an. Membaiknya perekonomian rakyat, dan meningkatnya produksi beras nasional, telah mengakibatkan konsumsi jagung tepung menurun drastis. Jagung tepung (Zea mays amylacea) semula memang dibudidayakan untuk bahan pangan substitusi beras. Ada yang dipecah dalam butiran kasar dan dicampurkan dalam beras, maupun ditumbuk halus menjadi tepung untuk dimasak menjadi nasi jagung.

Saat ini pun, masyarakat di pegunungan Jawa Tengah dan Jawa Timur masih mengkonsumsi nasi jagung. Hanya proses penepungannya sudah dilakukan di penggilingan (huller) yang banyak bertebaran sampai ke pelosok desa. Sebelum ada huller, penepungan jagung dilakukan secara manual. Jagung pipilan kering, dimasukkan ke dalam lumpang (wadah penumbuk dari kayu maupun batu), disiram air panas dan ditumbuk menggunakan alu (batang penumbuk dari kayu). Hasilnya, berupa biji jagung pecah dan terpisah dari kulit biji serta lembaganya (kentosnya). Kulit ari dan lembaga ini disebut sebagai dedak jagung, dan dipisahkan dari biji pecah dengan ditampi menggunakan tampah (nampan dari anyaman bambu). Selanjutnya biji pecah direndam air antara 6 sd. 12 jam sampai lunak. Setelah itu, biji dicuci dan "dirimbang" untuk memisahkan sisa lembaga yang masih berada dalam pecahan biji. Setelah bersih, pecahan biji jagung ditumbuk dalam lumpang sampai menjadi tepung.

Tepung yang dihasilkan dicampur air dan dibuat menjadi adonan halus. Perlakuan ini sama dengan perlakuan terhadap tepung gaplek (singkong kering) dalam proses pembuatan tiwul. Adonan tepung jagung ini kemudian dikukus menggunakan kukusan (anyaman bambu berbentuk kerucut), dalam dandang (kuali pengukus dari tembaga) dan ditutup kekeb. Pengukusan dilakukan dalam tungku dengan bahan bakar kayu selama 15 menit. Untuk melihat apakah seluruh bagian tepung sudah masak, digunakan lidi atau soled khusus untuk menusuk adonan tepung. Setelah seluruh bagian tepung masak, adonan diangkat, ditaruh dalam tampah, dihancurkan sambil disiram air dingin dan diaduk-aduk menggunakan centong. Adonan ini dibiarkan mengembang sekitar 10 menit dan dikukus lagi. Pengukusan kedua berlangsung sekitar 10 menit, adonan kembali diangkat, ditaruh dalam tampah, disiram air panas dan diaduk rata serta dibiarkan mengembang selama 15 menit. Setelah mengembang, adonan kembali dikukus tahap III selama 30 menit sampai siap disantap sebagai nasi jagung. 

Meskipun pengukus aluminium dan stainless steel sudah memasyarakat semenjak tahun 1960an, namun sampai saat ini pengukusan dengan dandang tembaga dan kukusan dari anyaman bambu masih tetap dilakukan masyarakat di pegunungan. Demikian pula dengan tungkunya, meskipun kompor minyak dan gas sudah memasyarakat, namun tungku dengan bahan bakar kayu tetap masih mereka pergunakan. Sebab fungsi tungku pada masyarakat di pegunungan, bukan sekadar untuk memasak, melainkan juga untuk mengasap tongkol jagung, gaplek, tembakau dan biji-bijian hasil panen yang disimpan dalam lumbung di atas tungku tadi. Selain itu, tungku juga berfungsi sebagai penghangat ruangan. Sebab suhu udara di pegunungan sering turun di bawah 15° C (suhu terendah ruang ber AC hanya 18° C). Bahkan malam hari pada bulan-bulan Juli, Agustus dan September, suhu udara bisa turun sampai 0° C hingga terjadi frost.

Mengkonsumsi nasi jagung bagi masyarakat pegunungan, bukan sekadar masalah ekonomi melainkan juga kultur. Bahkan sampai saat ini pun, proses penepungan jagung secara manual menggunakan alu dan lumpang masih banyak dilakukan oleh keluarga pedesaan di pegunungan. Meskipun dilihat dari kacamata ekonomi sangat tidak rasional, tetapi karena merupakan bagian dari kultur, maka proses pembuatan nasi jagung masih tetap dijalankan oleh masyarakat. Hanya kalau sebelum tahun 1970an mengkonsumsi nasi jagung terpaksa dilakukan karena faktor ekonomi, maka saat ini pertimbangannya sekadar masalah kultural. Sama halnya dengan masyarakat Gunung Kidul dan Wonogiri yang sampai sekarang masih tetap mengkonsumsi tiwul. Faktor kultural inilah yang menyebabkan budidaya jagung tepung sampai sekarang masih terus berlangsung. Hingga plasma nutfah jagung tepung juga masih tetap terpelihara dengan baik dan tidak mengalami kepunahan.


Budidaya jagung tepung yang dilakukan oleh masyarakat, menjadi sangat tidak ekonomis karena hasil per hektar per musim tanam paling tinggi hanya 1 ton pipilan kering. Namun secara ekonomis, yang riil mereka keluarkan hanyalah pembelian pupuk urea sekitar Rp 100.000,- untuk 1 hektar lahan. Selebihnya benih, pupuk kandang, pengolahan lahan, penanaman, penyiangan dan ongkos panen sama sekali tidak mengeluarkan biaya riil. Seandainya seluruh biaya itu diuangkan, maka nilainya sekitar Rp 1.500.000,- per hektar per musim tanam. Kalau harga jagung tepung ini Rp 1.000,- per kg. maka hasil yang diperoleh hanya bernilai Rp 1.000.000,- per hektar per musim tanam. Hingga sebenarnya petani merugi. Tetapi karena beban riil yang mereka keluarkan hanya Rp 100.000,- maka petani masih menganggap bahwa kegiatan ini menguntungkan. Lebih-lebih karena hasil jagung tersebut untuk mereka konsumsi sendiri. Kalau biaya itu ditingkatkan menjadi Rp 3.000.000,- per hektar per musim tanam, maka hasilnya akan meningkat menjadi 3 ton biji jagung pipilan kering (kadar air 14 %). Hingga peningkatan biaya sebesar 100%, akan mengakibatkan peningkatan hasil 200%. Dengan nilai pipilan kering Rp 1.000,- per kg. (jagung pakan ternak Rp 900,- per kg.) kegiatan ini baru BEP. Kalau mau untung, maka hasil pipilan kering minimal harus 4 ton per hektar per musim tanam.  

Dari 1 ton jagung pipilan kering, kalau ditepungkan akan menjadi 700 kg tepung dan 300 kg dedak. Nilai dedak Rp 500,- per kg. atau Rp 150.000,- menjadi hak pemilik huller. Biaya penepungan Rp 100,- per kg. atau total Rp 100.000,- Hingga nilai 700 kg. tepung akan menjadi Rp 1.100.000,- atau Rp 1.571,- per kg.  atau dibulatkan menjadi Rp 1.600,- per kg. Harga pokok tepung ini masih sangat rasional mengingat harga tepung terigu tanpa merek di tingkat konsumen sudah di atas Rp 3.000,- per kg, tepung beras Rp 4.500,- per kg, tepung ketan Rp 5.700,- per kg, tapioka Rp 2.800,- per kg, dan tepung maizena impor Rp 9.500,- per kg. Dengan harga jual tepung jagung di tingkat konsumen Rp 2.500,- per kg. pun, sebenarnya masih sangat bersaing, sebab lebih murah Rp 300,- dibanding tepung tapioka dan lebih murah Rp 2.000,- dari tepung beras. Namun sampai sekarang agroindustri tepung jagung tidak pernah bisa berkembang karena pemanfaatannya masih sebatas untuk nasi jagung. Sementara tepung tapioka diserap oleh industri kerupuk dan bakso, serta tepung beras untuk aneka kue basah dan pembalut gorengan.

Di Amerika Latin, agroindustri tepung jagung bisa tumbuh sangat sehat, sebab pemanfaatannya lebih ditujukan untuk substitusi gandum. Roti dan aneka kue jagung merupakan menu yang telah memasyarakat dan diproduksi secara massal. Hingga agroindustri tepung jagung pun juga berkembang sejalan dengan konsumsi roti dan kue secara modern. Hal inilah yang belum terjadi di Indonesia. Akibatnya terjadi ketimpangan antara budidaya jagung pakan ternak, jagung manis dan jagung tepung. Kalau jagung pakan ternak dan jagung manis telah dibudidayakan secara modern dalam skala komersial, maka budidaya jagung tepung masih dilakukan secara subsisten oleh para petani tradisional. Hingga tidak terlalu penting apakah hasilnya akan merugi atau menguntungkan. Padahal, konsumen pangan di Indonesia, terutama masyarakat lapis bawah, tidak terlalu mempermasalahkan, apakah kue serta roti yang dikonsumsinya berasal dari bahan baku gandum, beras, jagung atau singkong. Bagi konsumen, yang penting rasanya enak, tidak membahayakan kesehatan dan harganya terjangkau.

Kedatangan tanaman jagung dan singkong di Indonesia dari Amerika Latin relatif bersamaan waktunya. Namun variasi menu tradisional dari singkong mencapai puluhan, sementara masyarakat hanya mengenal nasi jagung, jagung rebus/bakar, gerontol (biji jagung direbus setelah dihilangkan kulit arinya dengan kapur), marning (gerontol dikeringkan dan digoreng). Makanan kering dari singkong dikenal cukup banyak. Mulai dari aneka kerupuk, aneka opak dan keripik singkong. Variasi makanan kering dari jagung, sebenarnya bisa lebih banyak. Tetapi karena menu makanan menyangkut dengan kultur, maka pengembangan jagung tepung di Indonesia tidak bisa dipaksakan. Menjadi tugas para enterpreneur dan inovator untuk merintis berbagai menu dari bahan jagung. Sebab ketergantungan impor gandum untuk mie, roti dan berbagai kue, pada akhirnya akan makin memperkaya negara maju dan memiskinkan para petani kita. (R) * * *       

sumber : http://foragri.blogsome.com

Selasa, 13 Desember 2011

JENIS PAKAN ALTERNATIF LOKAL UNTUK PAKAN UNGGAS DAN TERNAK



Ampas yang berasal dari hasil ikutan pengolahan makanan ternyata sangat potensial sebagai pakan alternatif. Beberapa diantaranya ampas minyak sawit, kecap, tahu, tempe, onggok, molasses dan orgami. Bahkan juga siput air tawar dan keong mas. Jangan terpukau dengan pakan impor.

DAPATKAN BUKU-BUKU PETERNAKAN
 PESAN ONLINE KIRIM KE SELURUH INDONESIA
UNTUK PEMESANAN KLIK GAMBAR ATAU 
VIA SMS 0852.57090.372
Jangan gelisah dengan meningkatnya impor bahan pakan seperti jagung dan bungkil kedelai. Indonesia memiliki bahan pangan lokal yang dapat cukup untuk menggantikannya.
Yang paling gampang dan sudah banyak digunakan sebagai pakan ternak adalah ampas yang berasal dari hasil ikutan pengolahan makanan seperti onggok, molasses, ampas tahu, ampas kecap, CPO, dll. Penggunaannya sebagai bahan pakan dapat dicampurkan dengan bahan tambahan pakan lainnya atau dapat diberikan secara langsung pada ikan/ternak antara lain
Ampas Minyak
Sawit Minyak inti sawit merupakan minyak murni hasil ekstraksi biji sawit. Sedangkan sisa dari pembersihan/ pemurnian tersebut diperoleh ampas minyak sawit yang berbentuk padat. Sejauh ini sudah banyak yang memanfaatkan hasil ikutan ini sebagai pakan ternak (sapi). Penggunaan minyak sawit (CPO) pada pakan dapat langsung dicampur pada pakan siap, sedangkan ampas minyak sawit dapat dicampurkan dengan bahan-bahan tambahan pakan lainnya. Sedangkan ampas minyak sawit sebagai bahan baku pakan ikan terlebih dahulu harus diproses menjadi tepung dengan nilai gizi yang terkandung di dalamnya protein 16,09%; lemak 5,39% dan abu 8,59%.
Ampas Kecap
Ampas kecap merupakan hasil ikutan dari proses pembuatan kecap yang berbahan dasar kedelai yang memiliki kandungan protein cukup tinggi. Untuk menjadi bahan baku pakan, ampas kecap harus diolah menjadi tepung dengan lebih dahuhr dikeringkan dalam oven/dijemur. Nilai gizi yang terkandung adalah protein 10,32%;Iemak 6,93%;air 52,98% dan abu 6,72%.
Onggok
Onggok yang berasal dari ubi kayu merupakan hasil ikutan padat dari pengolahan tepung tapioka. Sebagai ampas pati singkong (ubi kayu) yang mengandung banyak karbohidrat, onggok dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi, nilai gizi yang terkandung pada onggok adalah protein 3,6%; lemak 2,3%;air 20,31 % dan abu 4,4%.
Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan hasil ikutan dari proses pembuatan tahu. Untuk menjadi bahan baku pakan, ampas tahu dapat langsung diberikan pada ikan/ ternak dengan tambahan sedikit ikan asin, atau dapat juga diolah lebih dulu menjadi tepung dengan mengeringkannya dalam oven/dijemur lalu digiling. Nilai gizi yang terkandung adalah protein 8,66%; lemak 3,79%; air 51,63% dan abu 1,21%.
Ampas Tempe
Hasil ikutan pengolahan tempe yang berasal dari bahan baku kacang kedelai, baik berupa kupasan kulit ari kacang kedelai juga limbah cair berupa air rebusan dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ikan/ternak.
Molases.
Molases merupakan sisa hasil produksi pada industri pengolahan gula yang berbentuk cair. Molases sudah banyak dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pakan ternak, karena kandungan gizinya cukup baik.
Orgami
Orgami merupakan hasil buangan pengolahan penyedap rasa. Setelah melalui proses penyaringan raw sugar (tetes tebu) dan molases sebagai bahan baku, dihasilkan gypsum. Selanjutnya melalui tahap koagulasi (penggumpalan) dihasilkan orgami sebagai hasil ikutan cair dan dielet humus sebagai hasil ikutan padatnya. Nilai gizi orgami adalah protein 5,28%; lemak 3,41%; air 68,29% dan abu 4,77%.
Selain bahan lokal yang berasal dari nabati juga dapat memanfaatkan bahan lokal dari hewani yaitu siput air tawar dan keong emas yang sering dijumpai pada areal persawahan dan kolam ikan.
Siput air Tawar
Dari hasil penelitian bahwa pemberian dedak padi ditambah siput air tawar (Lymneae Auricularis) dengan perbandingan I : 2 dapat meningkatkan kualitas telur itik seperti nilai nutrisi telur, bobot telur dan warna kuning telur yang lebih baik.
Keong Mas
Pemberian keong mas yang direbus pada ayam buras yang di berikan selama 13 minggu dapat menaikkan pertambahan bobot badan lebih baik dan penghematan biaya sebesar Rp. 764 - 927 perekor.
Minuman Kesehatan Unggas
Seperti manusia yang memerlukan minuman kesehatan dari bahan-bahan herbal maka unggas-pun memerlukan minuman kesehatan. Bahan-bahan yang diperlukan antara lain : kencur, temu kunci, lengkuas, jahe, kunyit, bawang merah, bawang putih, bengkuang, daun sirih, sereh, belimbing wuluh, kemangi, temu lawak, temu hitam, masing¬masing sebanyak 0,25 kg.
Proses pembuatannya sebagai berikut Bahan-bahan dicuci sampai bersih; Diiris tipis¬tipis, lalu digiling; Hasil gilingan dimasukkan ke dalam jerigen ukuran 20 liter dan ditambahkan dengan I liter molasse dan I liter EM-4; Tambahkan air bersih sampai penuh. Kocok sampai merata. Tutup rapat jerigen untuk proses permentasi secara anaerob dan biarkan berlangsung selama 2 minggu, namun selama proses permentasi berlangsung sebaiknya gas dibuang dengan membuka tutup jerigen dan menutup kembali dengan rapat setelah 2 minggu, hasil permentasi disaring dan disimpan secara anaerob ditempat sejuk sehingga sewaktu bisa digunakan
Untuk minuman kesehatan maka diminumkan pada ayam dengan dosis unt I liter air minum ditambahkan 2,5 ml bal ramuan.. Ramuan ini akan bermanfaat bal peningkatan kerja organ pencernaan dan meningkatkan nafsu makan ayam.
Masih Banyak Peluang untuk Pakan
Indonesia masih memiliki bahan pakar lokal yang belum lazim dimanfaatkan, diantaranya adalah lumpur sawit yang merupakan hasil ikutan pengolahan miny, sawit, bungkil kopra, bungkil kelapa sawit, gaplek dan bekatul.
Lumpur sawit
Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa lumpur sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak unggas. sapi, domba, babi. Lumpur sawit mengandung serat kasar yang tinggi dan kecernaan gizi yang rendah sehingga penggunaannya untuk pakan unggas sang terbatas. Salah satu usaha yang dilakukan Balai Penelitian Ternak dalam rangka pemanfaatan baban ini adalah melakukan ferment,asi untuk meningkatkan nilai gizin) serta menurunkan kadar serat lumpur sav Pengujian biologis menunjukkan bahwa produk fermentasi lumpur sawit dapat digunakan hingga 10% di dalam ransum ayam broiler dan ayam kampung, tetapi di dalam ransum itik sedang tumbuh dapat digunakan sebanyak 15%.
Bungkil Kopra
Bungkil kopra merupakan hasil ikutan proses ekstraksi minyak kelapa.Tetapi penggunaan bungki kopra dalam pakan unggas menghadapi kendala seperti: kadar asam amino esensi rendah, kerusakan protein akibat suhu tii dan tingginya kadar serat kasar. Akibatny bungkil kopra tingkat penggunaannya ha sebatas pada level tidak lebih dari 10 %. atas level itu besar kemungkinan akan berpengaruh buruk terhadap tingkat konsumsi makan, laju pertumbuhan dan produksi telur.
Peranan Penyuluh Pertanian
Para penyuluh pertanian perlu mendorong peternak untuk menggunaka bahan baku dari dalam negeri sehingga ketergantungan kepada pakan impor semakin berkurang.
Antara lain dengan terlibat dalam program pemerintah yang akan memberi advokasi dan edukasi pembuatan formula pakan berbasis sumberdaya lokal, dan mengembangkan bahan pakan lokal yang prospektif dikembangkan sebagai alternat diantaranya hasil ikutan pengolahan min; sawit dan ubi kayu (singkong) dan hasil ikutan perkebunan lainnya.
Pemerintah sendiri sedang berusaha meningkatkan penggunaan bahan baku k Oleh karena itu Ditjen Peternakan telah memberikan bantuan mini feedmill (pabri pengolahan pakan mini) untuk kelompok peternak di 14 lokasi pada tahun 2007, dan 38 lokasi pada tahun 2008. Sad Hutomo Pribadi Penyuluh Madya Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) Sumber : Hasil penel dan tulisan dari Balai Penelitian lingkup Badan Litbang Pertanian dan berbagai tulisan di website.badan litbang.
Sumber : Sinar Tani Edisi 9-15 Juli 2008

GUNAKAN SEARCH ENGINE INI UNTUK MENEMUKAN ARTIKEL ANDA :
Loading
Logitech Keyboards
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...