H. Syamsur : Memuliakan Usaha Ayam Kampung
Beternaklah, jangan biarkan dirimu diternakkan seumur hidup!
Potensi beternak ayam kampung merupakan usaha yang menggiurkan, namun kesuksesan yang diperoleh oleh peternak karena keinginan yang kuat untuk terus belajar. Belajar adalah kunci keberhasilan dalam beternak ayam kampung. Kegagalan pasti ada, namun dengan niat yang kuat dan belajar terus menerus maka kesuksesan sudah didepan mata. Mari mencoba !
H.
Syamsur tak pernah kenal kata putus asa dalam memulai usahanya ketika
masih sendiri beternak ayam kampung. Tak lama kemudian, ia mengajak
teman-teman dan keluarganya bergabung dan mendirikan Kelompok Ternak
“Sipakatau”, dan dipercayakan sebagai ketua kelompok tersebut. Sangat
terasa bahwa kelompok usaha ayam kampungnya ini terus maju dan
berkembang. Alhasil, komoditas ayam kampung yang ia usahakan bersama
kelompoknya tersebut ternyata memiliki prospek yang bagus dengan
permintaan pasar yang begitu besar dan terkadang tak sanggup dipenuhi.
Yang
menarik, Usaha ternak ayam kampung yang tergabung dalam kelompok ternak
“sipakatau” ini selain mendapat dukungan dana dari pemerintah, H.
Syamsur dan anggota kelompoknya tak segan-segan membiayai usaha
kelompoknya dengan mengeluarkan koceknya sendiri. Ia optimis bahwa usaha
kelompok ternak ayam kampungnya ini memiliki nilai yang sangat besar
bagi diri dan keluarganya, kelompok ternaknya, masyarakat sekitar tempat
ia tinggal.
Di
tangannya, kelompok ternaknya bisa meraih penghargaan dari Gubernur
Sulsel sebagai juara 3 tingkat propinsi sulsel, dan penghargaan tingkat
nasional sebagai juara harapan I dan tingkat propinsi sulsel kembali
lagi meraih juara I. Penghargaan ini berkat pretastasi dan kegigihannya
memimpin kelompok ternaknya karena di nilai bisa menghasilkan produksi anak ayam umur sehari (DOC) melalu mesin tetas yang dirakit sendiri.
Usaha
kelompok ternak ayam kampung “Sipakatau” yang dipimpin H. Syamsur kini
menjadi buah usaha yang khas bagi siapa saja yang berkunjung ke
Kelurahan Tanah Loe, Kecamatan Gantarangkeke sebelah utara Ibu Kota
Kabupaten Bantaeng. Dengan jarak tempuh dari kota Bantaeng ± 11 km,
serta dari Ibukota Propinsi yakni Makassar ±165 km, tidak sulit
menemukan rumah H. Syamsur yang tak pernah sepi dari pengunjung yang
ingin melihat langsung usaha ayam kampung dan juga para pedagang yang
datang membeli ayam dan telur.
Berbekal
pendidikan SLTA, awalnya H. Syamsur menjalani aktifitasnya sebagai
petani kebun coklat. Tak lama selang beberapa tahun, Pria kelahiran
Bantaeng 11 Desember 1978 ini, tertarik dengan usaha penetasan telur
ayam milik ponakannya. Dari sini H. Syamsuri terinspirasi dengan usaha
ponakannya itu, lalu ia coba membeli DOC (ayam umur sehari) dari usaha
ponakannya itu sebanyak 19 ekor. Dari jumlah inilah ia memulai usahanya
secara mandiri hingga akhir tahun 2008. Disini ia terus belajar dan
menganalisa bagaimana ia juga membuat mesin penetas sendiri sehingga
bisa menghasilkan anak ayam DOC yang bagus, seragam dan yang sesuai
dengan sifat genetik alami dari ayam kampung.
Dengan
modal keberanian dan tekadnya yang begitu besar untuk maju, H.Syamsur
akhirnya membuat mesin penetas sendiri. Ia merakit mesin penetas
tersebut dengan kapasitas 300 butir, dan berupaya agar kapasitas mesin
tersebut bisa diisi penuh. Harga telur yang ia beli untuk tetaskan pada
saat itu Rp. 1200 per butir. Ternyata hasil percobaan dari telur yang ia
tetaskan sejumlah 300 butir itu gagal karena sama sekali tak ada telur
yang menetas.
Pria
berdarah asli Makassar ini menegaskan, kesalahkaprahan dalam mengelola
telur ayam yang akan di tetaskan bisa berdampak kegagalan seperti yang
dialaminya. “Dengan rasa penasaran saya mencoba dengan keyakinan kuat
untuk memasukkan lagi telur sebanyak 150 butir yakni setengah dari
kapasitas mesin penetas, karena hasil analisa saya mungkin ada yang
salah dalam hal teknis baik itu telur yang akan di tetaskan maupun
kondisi mesin saat telur di tetaskan, ternyata selama 21 hari lamanya
proses penetasan, hasilnya belum begitu memuaskan yakni hanya 3 ekor
dari 150 butir yang ditetaskan”, ujar Syamsur penuh semangat.
Anak
ayam umur sehari (DOC) akhirnya bisa dihasilkan H. Syamsur setekah ia
mencoba ketiga kalinya, jumlah yang menetas adalah 50% dari 300 butir
yang ia tetaskan. Cukup memuaskan baginya dengan persentase daya menetas
telurnya. Dan selanjutnya penetasan yang ke empat, ia mencoba lagi
memasukkan telur 300 butir dan ternyata hasilnya lagi-lagi sangat
menakjubkan yakni daya tetas mencapai 65% dari 300 butir.
“Dari persentase yang memuaskan tersebut, saya sudah mulai menjual anak ayam DOC dengan
harga Rp. 5000 ke para petani yang berminat. Dan sebagian DOC yang
dihasilkan, saya pelihara secara intensif untuk kemudian di jadikan
induk lagi, hingga berumur 6 bulan. Hingga induk ini bertelur dan
selanjutnya telurnya akan ditetaskan lagi, dan begitu seterusnya”, ujar
H. Syamsur ketika Kompasianer menemui di rumahnya.
Tahun
2009, H. Syamsur merasa usaha peternakan ayam kampungnya semakin
dinamis dan berkembang akhirnya timbul inisiatif dalam dirinya untuk
mendirikan sebuah kelompok ternak ayam kampung. “Keberadaan kelompok
ternak menjadikan sangat penting dalam usahanya, sekaligus posisi tawar
dalam hal akses sumberdaya juga semakin kuat, pemerintah dan berbagai
kalangan terkadang memandang petani ternak ketika mereka sudah berdiri
dan berada dalam sebuah kelompok”, ujar H. Syamsur yang saat ditemui
kedatangan 4 pemuda desa yang hendak magang di kelompok usaha ternak
ayam kampungnya.
Hasil
musyawarah rapat yang Ia lakukan bersama teman-teman sekampungnya,
diputuskan kelompok ternak tersebut bernama “Sipakatau”, H. Syamsur
terpilih menjadi ketua dengan beranggotakan 7 orang.
Awalnya,
kelompok ternak sipakatau saat itu memiliki populasi sekitar 300 ekor.
Dalam perjalanan usaha oleh kelompok ternak “Sipakatau” tersebut, lama
kelamaan mulai dilirik oleh pemda setempat dalam hal ini Dinas Pertanian
dan Peternakan Kab. Bantaeng. Dengan begitu tim Dinas tersebut turun
survey ke lapangan guna melihat langsung usaha kelompoknya. Ternyata
usaha kelompok ternaknya memenuhi syarat untuk memperoleh bantuan.
“Sangat pas ketika Dinas Pertanian dan Peternakan Kab.Bantaeng
berkunjung melihat langsung
usaha kami dan kelayakannya karena saat itu kami memang sangat butuh
bantuan permodalan”, jelas H. Syamsur, ayah dari dua anak ini penuh
semangat.
Maka
Tahun 2010 kelompok ternaknya resmi mendapatkan dukungan dana dari
program bantuan sosial (bansos) berupa uang tunai dari pemerintah
propinsi Sulsel senilai Rp. 149 Juta. Dana inilah yang digunakan H.
Syamsur bersama kelompok ternaknya dalam mengembangkan usaha ternak ayam
kampung untuk membiayai kandang, penetasan DOC, Pakan, obat-obatan dan
vitamin dan lain sebagainya.
Usaha
peternakan ayam kampung kelompok ternak “sipakatau” ini terbagi di
empat lokasi perkandangan. Dengan berbagai pertimbangan kelompoknya
serta tidak adanya lokasi yang layak untuk pengembangan usaha ayam
kampung, sehingga kesepakatan bersama teman-teman kelompok maka
lokasinya ia bagi menjadi empat lokasi. Dengan masing-masing ukuran luas
kandang yang bervarisi di setiap lokasi. Untuk kandang ayam yang berada
di lokasi 100 meter dari rumah H. Syamsur ukurannya 12×13 m, sedangkan
yang dilokasi lain ukuran kandangnya 10×15 m. Begitu juga dengan
dilokasi yang agak jauh yakni ukurannya 5×20 m.
“Untuk biaya rehabilitasi kandang-kandang tersebut kami lakukan secara swadaya di kelompok, karena dana
bantuan sosial pusat yang dialokasikan kepada kelompok ternak kami
setelah di kalkukasi tidak mencukupi. Untuk setiap lokasi saja terdapat
kandang batterai yang mana membutuhkan dana sekitar 3-5 jutaan setiap
kandang. Dan total dana swadaya yang dialokasikan dari kelompok saat itu
sekitar 15 juta”, Ujar H. Syamsur
H.
Syamsur akui bahwa banyak keuntungan yang didapatkan dari program
bantuan sosial tersebut adalah kelompok ternaknya tidak lagi membeli
bibit DOC. Sebagai contoh, bibit DOC dengan harga 10 ribu rupiah per
ekor, bisa menjadi 5 ribu rupiah karena DOC bisa di produksi sendiri
dengan mesin penetas yang sudah ada. Sehingga selisih dari harga itu ia bisa kelolah dengan baik untuk digunakan dengan pembelian pakan jadi.
Terinspirasi
dari berbagai informasi dan bacaan seputar penetasan hingga pola
pemeliharaan ayam kampung, usaha kelompok ternak ayam kampung H. Syamsur
terbagi beberapa periode pemeliharaan, antara lain umur 0 – 2 bulan
yakni dengan cara diumbar. Vaksinasi diperiode ini diberikan diumur 4
hari yakni ND Clone produksi medion. Selanjutnya vaksinasi gumboro di
lakukan di umur 1 – 3 minggu berturut-turut. Selanjutnya di umur 18-20
hari dilakukan lagi vaksinasi ND dengan injeksi.
“Pemeliharaan
ayam kampung tidak bisa lepas dari pola pemberian pakan di umur 0 – 2
bulan, karena di umur ini adalah periode kritis dimana pertumbuhan ayam
yang sangat menentukan baik tidaknya produksi telur. Pakan yang ia
berikan pakan jadi butiran BP 11 produksi Japfa yang dibeli dari poultry
shop dengan konsumsi untuk 100 ekor sebanyak 150 kg”, Terang H.
Syamsur.
Selanjutnya masa pemeliharaan di umur 2 – 4 bulan. H. Syamsur secara konsisten mengikuti
program petunjuk pemeliharaan ayam kampungnya. Periode ini dilakukan
Vaksinasi ND-AI. Sedangkan konsumsi pakan yang dihabiskan di masa
pemeliharaan 2-4 bulan ini adalah 600 kg yang terdiri dari jagung, dedak
dan konsentrat dengan perbandingan 35;40;25.
“Fase pemeliharaan bertelur, dimulai umur 6 – 24 bulan. Di Fase ini ayam sudah berada di dalam kandang
batterai hingga berproduksi. Di kandang batterai ini di bagi menjadi
dua, yakni ayam yang produksi telurnya untuk di tetaskan dan ayam untuk
produksi telur yang di konsumsi. Untuk pemeliharaan ayam untuk produksi
telurnya akan ditetaskan, dalam satu flock dicampur dengan ayam pejantan
dengan perbandingan 1 ; 3, artinya satu ekor jantan dapat mengawini
tiga ekor ayam betina. “Sedangkan ayam kampung yang produksi telurnya
siap untuk konsumsi tidak perlu menggunakan ayam jantan dalam floknya.
Jumlah tolal keseluruhan ayam kampung jantan yang dipelihara di kelompok
ternak ‘siapakatau”nya adalah sekitar 120 ekor dengan perbandingan
betina sekitar 360 ekor”, ujar H. Syamsuri.
Lama berproduksi ayam kampung kelompok
ternak H. Syamsur rata-rata adalah 18 bulan, umur 5 bulan ayam sudah
mulai bertelur, dengan 5- 10 butir. Masuk umur 6 bulan ayam sudah bisa
membiayai dirinya, disini produksi telur sudah mulai nampak sekitar 50%
produksi dan hingga umur 8 bulan bisa mencapai puncak produksi 65%.
Semua ia ikuti dengan sistem pemeliharaan yang intensif.
Mengaplikasikan
Sosok
H. Syamsuri termasuk seorang peternak yang terus berinovasi dengan
teknolgi tepat guna dan ia tidak puas pada analisa diatas kertas soal
formulasi pakan. Tahun 2012 ini ia bersama kelompoknya belajar menyusun
ransum dan membuat formulasi pakan sendiri dengan mencari bahan baku
yang murah serta mudah di dapat. Ia sengaja mencoba formulasi pakan yang
ia ramu sendiri di umur 0-2
bulan agar hasil pekerjaannya itu bisa bermanfaat dan bernilai ekonomis
yang tinggi. Meski kenyataan dalam pengamatannya ketika membandingkan
pakan jadi dengan pakan buatannya sendiri masih terlihat perbedaan yang
sangat nyata yakni pada saat pertumbuhan ayam telihat agak lambat
dibandingkan dengan pakan komersial.
Pembuatan
formulasi pakan ayam kampungnya, di fasilitasi oleh Dinas Pertanian dan
Peternakan Kab. Bantaeng. Fasilitas yang berikan selain tenaga
nutrisionis dan feed formulator juga fasilitas alat untuk membuat pakan
antara lain dismill, mixer, boskuler dan fellet yang semuanya di berikan
oleh pusat melalui Dinas Pertanian dan Peternakan Kab Bantaeng.
Dasar
pemikiran H. Syamsur menyusun pakan dengan formulasi sendiri, karena
disamping nilai ekonomis dari usaha juga perbedaan harga antara pakan
dengan pakan buatan sendiri sangat jauh. “Untuk pakan jadi saja bisa
6000 ribu per kg, sedangkan pakan dengan mixing sendiri dengan bahan
baku yang terdiri dari ; Jagung, dedak, bungkil kelapa, tepung ikan,
kulit coklat, kacang hijau, bungkil biji kapuk ketika dikalkulasi
jatuhnya hanya 4.800 per kg, dari sini kami bisa menekan harga pakan
dimana biayanya paling besar dari keseluruhan biaya produksi yang ada”,
ungkap H. Syamsur.
Pasar
Pemasaran
yang di lakukan H. Syamsur dalam usaha kelompok ternak ayam kampung
sipakatau” selain menghasilkan anak ayam DOC 2000 ekor per bulan dengan
harga 7 ribu per ekor, kelompoknya juga menjual telur ayam kampung untuk
konsumsi warung kopi dengan harga 1500 per butir.
“Untuk
populasi 200 ekor, hasil penjualannya bisa di dapat 30 ribu bersih
rupiah per hari, sedangkan untuk penjualan ayam, bisa di dapat
keuntungan 5 ribu per ekor”, katanya.
Ditambah
lagi penjualan ayam kampung umur 0-70 hari dan umur 2 bulan (50-60
hari)masing-masing dengan harga 25 ribu per ekor dan 20 ribu per ekor
dengan tujuan pelanggannya yang tersebar Kab. Bantaeng dan Kab.
Jeneponto. Terkadang ada juga pembeli yang datang langsung ke peternakan
dan tentunya harga belinya pasti lebih bagus yakni 35 ribu per ekor.
H.
Syamsur yang berlatar belakang anak seorang petani tersebut senang dan
bangga bisa memiliki kelompok ternak ayam kampung karena bisa mengajari
para warga desa atau siapa saja yang ingin mengelola dan melestarikan
plasma nutfah ayam kampung asli. Disamping terus mengembangkan riset
bagaimana menghasilkan anak ayam DOC yang berkualitas, belakangan H.
Syamsur juga giat mengombinasikan berbagai formulasi bahan pakan yang ia
dapatkan secara mudah dan murah untuk disusun, di campur lalu diberikan
kepada ternak ayamnya sebagai pakan yang berkualitas. Selain efisien
dan efektif bagi ayam, juga bagi dirinya dan seluruh masyarakat yang
ingin mendapatkan manfaat dari beternak ayam kampung.
“Saya
ini orang Indonesia asli, saya berdarah Makassar, tumbuh besar di
kampung halaman saya yang di kenal dengan istilah “Butta Toa” Bantaeng
Sulsel, obsesi saya ingin menjadi populer dengan ayam kampung yang saya
pelihara, bukan hanya sekedar beternak namun banyak nilai-nilai
kemuliaan yang ia dapatkan selama memelihara ayam kampung. Dengan begitu
memuliakan usaha ayam kampung sama halnya dengan membuat manusia lebih
manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya dengan ayam
kampung”, Ujar H. Syamsur.
H.
Syamsur berharap ke depannya pihak pemerintah bisa terus memberikan
akses pemasaran bagi kelompok ternaknya. Selain itu ia ingin bergabung
di organisasi Himpunan Peternak Ayam Lokal (Himpuli) yang berpusat di
Bogor dan menjadi pengurus di tingkat propinsi agar tidak ketinggalan
informasi mengenai usaha ternak ayam kampung”, tutur H. Syamsur tentang
perjalanan hidupnya. (IR)
SUMBER : ekonomi.kompasiana.com
begitu saya membaca artikel ini, saya langsung sangat tertarik untuk mencoba bisnis ini. saya pasti akan mencoba bisnis ini..
BalasHapus