Rabu, 22 Februari 2012

Pembuat Pakan Ternak Pertama di Indonesia

Yogya, KU

Pada mulanya Drh. Eko Nugroho menjadi dosen di Fakultas Peternakan (Faperta) UGM. Kala itu, tahun 1969, Faperta UGM baru saja dibuka. Dia seangkatan dengan Prof. Sunarto dan Prof. Sumitro, yang pernah menjabat Dekan Faperta UGM. Tetapi, dia kemudian behenti jadi dosen. Alasannya sederhana saja: gajinya sebagai dosen tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. �Aduh ya. Tapi malu ya. Dulu gaji dosen nggak mencukupi. Ketika PT Matutur menawari saya kerja sebagai sales representative, dengan gaji sepuluh kali lipat, dan disediakan rumah dan kendaraan, akhirnya profesi dosen saya tinggalkan,� kata Pak Nugroho.

Ketika masih bekerja di PT Matutur, Pak Nugroho sudah membuat pakan ternak. Bahkan dia sudah membuat pakan ternak itu sejak dia jadi dosen Faperta UGM. Dia juga membuat obat-obatan hewan. Untuk menjual produknya tersebut, dia mendirikan kios-kios kecil ukuran 4 x 4 di Jl. Hayam Huruk, Semarang dan di Gondomanan, Yogya. �Poultry shop di Indonesia saya pertama kali mulai buat,� aku lulusan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UGM 1968 ini.

Setelah berhasil membuat pakan ternak, Pak Nugroho beternak ayam petelur. �Kebetulan saya mendapat pemberian ayam white leghorn (ayam petelur) dari Pak Seno Sastraoamijoyo, yang baru pulang dari Australia. Ayam ini belum ada di Indonesia. Masyarakat kita hanya tahu beternak ayam kampung. Pak Seno heran, kok sarjana di Indonesia tidak bisa hidup. Saya lalu diberi 12 ekor ayam white leghorn dari Australia. Saya ternakkan ayam itu di rumah yang dipinjami teman saya. Enam bulan ayam tersebut sudah bertelur. Mulai umur 8 bulan, saya sudah jual telurnya sampai ke Lampung. Andaikan sekarang harga telur Rp 600, dulu saya bisa jual seharga Rp 2000. Dari 20 ekor ayam itu, saya bisa hidup,� kata Pak Nugroho, kelahiran Magelang, 8 Mei 1933.

Kenyataan di atas membuat Pak Nugroho mendirikan Eka Poultry. Perusahaan ini berkembang terus. Sampai saat berita ini ditulis, bisnis Pak Nugroho berkembang pesat. Dia juga sudah membuka peluang usaha bagi masyarakat untuk berbisnis. Sayang Pak Nugroho tidak mau menjelaskan jumlah omset yang dia miliki. Yang jelas, perusahaannya mampu menggaji 200 karyawan yang dia miliki. �Saya memulai usaha ini dari nol, hingga seperti saat ini. Bagi saya yang terpenting bisa membayar gaji karyawan,� tambah Pak Nugroho.

***

Pak Nugroho hanya bekerja di PT Matutur sampai tahun 1971. Setelah keluar dari PT Matutur, Pak Nugroho memilih mengembangkan Eka Poultry. Ketika bekerja di PT Matutur, dia banyak belajar bagaimana cara mencari uang. �Dari itu saya belajar, kalau cari uang caranya begini ya. Tokonya nggak usah rame tapi pesanannya dari mana-mana. Saat itu saya punya dua salesman dan satu tenaga administrasi,� kata ayah tiga orang anak ini.

Beruntung tahun 1970 an ada booming ternak ayam petelur. Pak Nugroho mendapat ide untuk mempercepat masa bertelur ayam kampung. �Ketika itu saya mengajak semua orang beternak ayam petelur. Ternyata banyak yang ikut. Mereka mengambil pakan ke perusahaan saya. Ada yang membeli satu karung satu truk pakan. Tidak heran bila dalam waktu dua tahun, saya bisa mengumpulkan uang Rp 1,5 juta. Bayangkan nilai uang itu tahun 1970-an,� tambah Pak Nugroho.

Sejak saat itu usaha Pak Nugroho sudah merambah ke berbagai bidang. Dari ternak kelinci, jangkrik, ikan hias, iguana, anjing hingga walet.. Tidak heran jika saat itu dia sudah disebut sebagai salah seorang pakar walet Indonesia.

Pak Nugroho sering diundang jadi pembicara dalam berbagai seminar tentang walet. Dia juga sering mengadakan pelatihan tentang walet. Pelatihan yang dia adakan mendapat sambutan luas masyarakat. �Saat itu tahun 1989. Orang masih tertutup dalam hal cara beternak burung walet. Saat saya memberikan pelatihan cara beternak walet, diikuti oleh banyak orang. Dari walet inilah sebenarnya secara tidak langsung telah membantu mempromosikan salak pondoh Jogja ke berbagai daerah. Dalam beternak walet kita menganjurkan kepada peserta untuk menanam pagar di sekitar sarang walet, pagar ini berupa tanaman salak pondoh karena tanaman ini berduri. Kalau ada sarang walet pasti ditanam salak pondok. Maka permintaan bibit tanaman salak pondoh saya meningkat tajam. Padahal petani di daerah Sleman yang menjual sampai-sampai tidak mampu memenuhi permintaan. Tidak heran salak pondoh menjadi terkenal. Jika dulu tanaman salak pondoh hanya untuk permintaan para peternak walet, sekarang mereka bisa jual salak pondoh sendiri sebagai oleh-oleh khas Jogja,� papar Pak Nugroho.

***

Pak Nugroho selalu mengikuti trend. Ketika orang suka kelinci atau anjing, dia pun menyesuaikan diri. Waktu orang-orang mulai suka kelinci, dia mendatangkan kelinci jenis lain dari luar negeri. Ketika orang hobi beternak anjing, dia langsung beli anjing Kintamani dari Bali. Jika ada hewan piaraan yang baru ke Indonesia, dia langsung membuat buku tentang cara beternak. Tidak heran bila buku-bukunya terbilang diburu oleh para peternak hewan piaraan.

Kendati suah menjadi pengusaha sukses, Pak Nugroho tidak lupa peran istrinya dalam memajukan usahanya. �Saat saya masih jadi dosen, istri saya sungguh luar biasa. Sambil buka toko makanan ternak, dia juga jualan sembako. Tidak lama kemudian istri saya didatangi pegawai Pemda Kota. Dia menanyakan izin usaha. Istri saya menjawab bahwa suaminya dosen, bayarannya nggak cukup. Usha ini hanya buat tambahan Kalau dimintai izin, jelas nggak ada. Malu isteri saya waktu itu, tapi itu kenangan yang indah,� tambah Pak Nugroho.

Bagi Pak Nugroho sendiri, awal merintis perusahaan memang berat. Apalagi modalnya tidak cukup. �Berat lho dulu, modal nggak punya. Kalau saya kulakan beras paling hanya bisa 20 kilo. Saya tidak mau kulakan di pasar tapi langsung ke penggilingan. Saya bawa pake scooter saya Berasnya saya boncengkan,� kenang suami Iswanti ini.

Dalam membesarkan perusahannya, Pak Nugroho bukan tak menghadapi hambatan. Hambatan utama dihadapinya adalah salah persepsi tentang perkiraan jenis hewan impor yang bisa diternak di Indonesia. �Biasanya pada perkiraan jenis hewan impor yang bisa diternak di Indonesia karena sebaliknya ternyata hewan yang kita ambil tidak bisa diternak di sini,� ujar Pak Nugroho.

Sekalipun kini sudah menjadi seorang pengusaha sukses, Pak Nugroho belum merasa bahwa dia sudah sukses. �Perasaan saya, saya tidak merasa sukses. Saya hanya menjalankan apa yang patut dijalankan. Saya sudah mendapat sekolah banyak sekali. Banyak banyak matakuliah yang saya pelajari. Dulu susahnya bukan main. Sekolahnya juga susah. Apa yang saya pelajari, saya terapkan,� papar Pak Nuroho (wawancara dan penulisan: Gusti Grehenson; editing: Abrar).

sumber :
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=headline&artikel=218 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari Berbagi Ilmu Disini :